Telanjang, Tangguh, dan Tak Terbendung di Film The Substance: Demi Moore Menatap Balik Hollywood yang Menghancurkannya
BURUHTINTA.co.id - Pada akhir 1990-an, setelah bertahun-tahun mendominasi layar lebar dan menjadi sorotan utama di Hollywood, bintang Demi Moore mulai meredup. Ia pernah menjadi salah satu ikon terbesar dekade itu—baik karena kesuksesan maupun kegagalannya, diiringi kehidupan pribadi yang penuh drama, pernikahan selebriti, dan sorotan media tanpa henti. Moore menjual citra dirinya dengan penuh kesadaran, seakan dirinya sendiri adalah bagian dari produk komoditas Hollywood. Namun, seperti kebanyakan aktris, Moore kerap terjebak dalam peran yang lebih fokus pada tubuhnya ketimbang bakatnya.
Kini, di usia yang matang, Moore kembali memikat perhatian dalam film terbarunya, "The Substance," sebuah horor tubuh garapan sutradara Prancis, Coralie Fargeat. Film yang bakal rilis pada 20 September ini dengan berani mengecam komodifikasi perempuan, dan Moore tampil menggetarkan sebagai seorang aktris yang telah memasuki usia 50-an. Perannya begitu kuat dan memikat, sampai-sampai Anda lupa bahwa ia berulang kali tampil tanpa busana. Fokus Anda beralih dari tubuh telanjangnya menuju kedalaman emosional dan intensitas aktingnya. Meskipun demikian, satu pertanyaan besar muncul: apakah Moore akan terus mendapatkan proyek-proyek yang layak dengan bakat dan pengalamannya?
Dalam "The Substance," Moore menunjukkan kekuatan fisik dan emosional yang menggetarkan. Perannya menuntut lebih dari sekadar kemampuan akting; ia harus menghidupkan karakter yang berubah dari polos menjadi penuh keputusasaan dan kemarahan. Seperti banyak film sebelumnya, Moore kembali harus tampil telanjang. Namun kali ini, di usia 61 tahun, keberanian Moore untuk tampil terbuka dan raw begitu mengguncang. Cara ia menatap dirinya sendiri di depan kamera terasa klinis, hampir seolah ia memberontak terhadap eksploitasi yang selama ini membayangi kariernya.
Kembali ke era 1980-an, menjadi perempuan di Hollywood bukanlah tugas yang mudah, apalagi bagi seseorang yang ingin dikenal lebih dari sekadar wajah cantik. Tapi Moore berhasil membangun nama besarnya, mulai dari lingkaran Brat Pack hingga peran di film legendaris "St. Elmo's Fire" dan beberapa proyek yang kurang berhasil seperti "About Last Night." Namun, kejayaan sejatinya datang lewat "Ghost" (1990), yang mengukuhkan statusnya sebagai salah satu bintang terbesar di dunia perfilman, bukan hanya karena kesuksesan komersialnya, tetapi juga karena perannya yang begitu menyentuh.
Moore adalah bukti bahwa meski Hollywood mencoba mengurungnya dalam citra tertentu, ia tak pernah berhenti memperjuangkan dirinya sebagai seniman sejati. Tapi pertanyaannya tetap: apakah ia akan terus diberi ruang untuk membuktikan bahwa bakatnya jauh melampaui citra yang selama ini dilekatkan padanya?
Demi Moore, lebih sering terlihat dengan pakaian minim atau bahkan tanpa busana di banyak filmnya, selalu berhasil mencuri perhatian. Namun, bukan perhatian yang selalu positif. Di industri yang penuh dengan kemunafikan, saat aktor pria seperti Sylvester Stallone dan Arnold Schwarzenegger diagungkan karena fisik mereka di film-film aksi brutal, Moore justru dipermalukan karena berani tampil telanjang dalam film komedi absurd seperti "Striptease" (1996). Film ini, di mana ia memerankan seorang penari eksotis yang berjuang untuk mendapatkan hak asuh putrinya di tengah intrik politik, lebih tertarik mengeksploitasi tubuhnya ketimbang membangun cerita yang kuat.
Saat Moore membintangi "Striptease," industri film sedang gila-gilanya menaikkan gaji aktor—tentu saja untuk aktor pria. Dalam memoarnya "Inside Out" (2019), Moore menyebutkan bahwa mantan suaminya, Bruce Willis, dibayar lebih dari $20 juta untuk "Die Hard 3," sementara ia hanya menerima $12,5 juta untuk "Striptease." Hasilnya? Bukan pujian, melainkan julukan "Gimme Moore" yang sinis. Seolah menjadi wanita di Hollywood berarti harus menerima bahwa fisik Anda dieksploitasi, sementara aktor pria dipuja karena aksi kekerasan mereka.
Mungkinkah hal ini yang memicu Moore untuk membintangi "G.I. Jane" (1997), sebuah film yang mengharuskannya bertransformasi menjadi sosok berotot dan tangguh sebagai calon Navy SEAL? Ridley Scott memberikan Moore kesempatan untuk membuktikan dirinya lebih dari sekadar simbol seks, namun sayangnya, Hollywood tidak bisa sepenuhnya lepas dari obsesi akan tubuhnya. Siapa yang bisa lupa adegan push-up satu tangannya? Meski itu adalah bukti kekuatan fisiknya, fokus visualnya malah pada puting yang menyembul di balik kaus ketatnya. Seolah, meskipun ia berjuang untuk menjadi lebih dari sekadar objek, Hollywood tetap ingin menjual sisi seksualnya. Film itu gagal, dan upaya Moore untuk membuktikan diri pun tersendat.
Dalam memoarnya, Moore mengungkapkan obsesi industrinya pada tubuhnya, sebuah obsesi yang juga ia warisi dalam kariernya. Ia menulis dengan pahit tentang pengalaman di "Indecent Proposal," di mana sutradara Adrian Lyne menjanjikan bahwa bagian-bagian yang membuatnya tidak nyaman akan dipotong. "Namun, saya tetap tampil," tulis Moore, "dan yang ada di pikiran saya hanyalah tubuh saya, tubuh saya, tubuh saya." Obsesinya pada fisik akhirnya membuatnya menjalani latihan yang intens, namun tetap saja, Hollywood tak pernah puas. Sutradara Ed Zwick menganggapnya terlalu gemuk untuk "About Last Night," sementara Adrian Lyne justru mengatakan ia terlalu kurus.
Moore pantas mendapatkan lebih dari ini—dari sutradara, dari industri, dan dari media yang awalnya memujanya hanya untuk kemudian menghancurkannya. Dari puncak ketenaran hingga kejatuhan yang diejek publik, Moore tetap berdiri teguh. Ia telah melalui semua: eksploitasi, glorifikasi, penghinaan, dan akhirnya, kebangkitan. Kariernya dipenuhi dengan kesuksesan besar, kegagalan yang dicemooh, dan kontroversi tubuh telanjangnya, yang selalu menjadi pusat perhatian. Namun, setelah bertahun-tahun, dunia mungkin belum berubah, tapi Moore kini menatap balik. Tanpa takut, tanpa busana, dan lebih berani dari sebelumnya.***