Arti Kata Rakyat Jelata Menurut KBBI: Ketidaksengajaan atau Cerminan Retorika yang Bermasalah?
Adita Irawati, juru bicara Presiden Prabowo Subianto, tengah menjadi sorotan setelah komentarnya yang menggunakan istilah "rakyat jelata" dalam merespons kasus Miftah Maulana memicu kontroversi besar. Pernyataan tersebut dinilai tidak peka dan dianggap merendahkan, terutama dalam konteks sosial politik yang menuntut empati lebih besar terhadap rakyat kecil. Usahanya untuk meredakan situasi melalui permintaan maaf justru memberi kesan defensif dan kurang tulus, semakin memicu keraguan publik terhadap komitmen pemerintah terhadap isu-isu kerakyatan.
Melalui unggahan di Instagram, Adita berusaha menjelaskan bahwa penyebutan istilah tersebut hanyalah kekhilafan, atau tepatnya "slip of the tongue" yang tidak disengaja. Untuk mendukung pernyataannya, ia mengacu pada definisi "rakyat jelata" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang diartikan sebagai "rakyat biasa." Namun, pembelaan ini dianggap banyak pihak sebagai sekadar alasan, mengingat istilah tersebut memiliki konotasi historis yang sarat nuansa negatif dan tidak dapat diabaikan begitu saja.
"Tidak ada niat untuk merendahkan," tulis Adita dalam klarifikasinya. Meski demikian, permintaan maaf tersebut lebih sering dipandang sebagai upaya meredam kritik daripada bentuk penyesalan yang tulus. Akibatnya, kritik terus bermunculan, menggarisbawahi kelemahan komunikasi pemerintah dalam menangani opini publik.
Kejadian ini berawal dari wawancara yang kemudian viral, di mana Adita dengan percaya diri menyebut bahwa Presiden Prabowo Subianto menunjukkan keberpihakan kepada "rakyat jelata." Namun, penggunaan istilah tersebut segera memantik kontroversi, mengingat asosiasinya dengan kelas sosial yang termarjinalkan. Dalam suasana politik yang menuntut retorika yang lebih sensitif dan inklusif, komentar Adita dinilai tidak bijaksana.
"Presiden kita, Pak Prabowo Subianto, terlihat jelas dalam pidato dan kunjungannya menunjukkan keberpihakan kepada rakyat kecil, kepada rakyat jelata," ucap Adita dalam wawancara tersebut. Namun, pernyataan itu justru dianggap sebagai ironi, karena dampaknya bertolak belakang dengan maksud yang diinginkan.
Kontroversi ini tidak hanya merugikan citra Adita secara pribadi, tetapi juga memperkuat kekecewaan masyarakat terhadap pendekatan pemerintah dalam menangani isu-isu kerakyatan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apakah pemerintah benar-benar memperjuangkan rakyat kecil atau sekadar menjadikan mereka alat politik?
Meski Adita telah menyampaikan permintaan maaf, dampak dari pernyataannya diperkirakan akan membutuhkan waktu lama untuk benar-benar mereda. Insiden ini menjadi pengingat penting bahwa pilihan kata yang keliru, terlebih di era media sosial, dapat dengan cepat menciptakan krisis kepercayaan publik yang sulit diperbaiki.