header

Suriah Runtuh dalam Sekejap: Keangkuhan Assad Mengabaikan Peringatan Iran yang Fatal

Senin 09-12-2024 / 13:28 WIB


Suriah Runtuh dalam Sekejap: Keangkuhan Assad Mengabaikan Peringatan Iran yang Fatal

Suriah, sebuah negara yang dulu berdiri kokoh sebagai pusat peradaban Timur Tengah, kini tergeletak tak berdaya. Negara ini tak hanya runtuh, tetapi melakukannya dengan kecepatan yang mengerikan—seperti daun kering yang diterbangkan angin. Namun, kejatuhan ini bukan sekadar akibat konflik, melainkan hasil dari kesalahan strategis, pengkhianatan sekutu, dan arogansi fatal para pemimpinnya.

Dan Iran? Negara yang pernah menjadi benteng perlawanan terhadap hegemoni Barat kini tampak absen atau setidaknya ambigu dalam sikapnya. Ketika Suriah membutuhkan sekutu paling dekatnya, Iran tampak ragu-ragu: berdiri sebagai pelindung atau penonton?


PERINGATAN KHAMENEI: SUARA DARI TEHERAN YANG TAK DIHIRAUKAN
Enam bulan lalu, Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Khamenei, telah menyampaikan peringatan keras kepada Bashar al-Assad tentang ancaman Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), sebuah kelompok ekstremis yang berkembang di bawah bayang-bayang dukungan Turki. Tapi Assad—dengan rasa percaya diri yang membutakan—menyampingkan peringatan itu. Alih-alih memperkuat militer dan menghadapi ancaman secara langsung, ia malah mengulur waktu dan mencoba bermain politik dengan pihak-pihak yang justru ingin melihatnya tumbang.

IRAN DI MASA AWAL: PEMBIMBING, BUKAN KOMANDAN
Ketika ISIS muncul sebagai ancaman utama, Suriah meminta bantuan kepada Iran. Namun, Iran tidak mengirimkan pasukan dalam jumlah besar. Mereka memilih peran sebagai penasihat, menyuplai strategi dan dukungan logistik, sementara pasukan Suriah memikul beban utama pertempuran.

Dalam momen-momen kritis, tentu, Iran mengirimkan pasukan elit seperti Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC) dan tokoh legendaris seperti Jenderal Qassem Soleimani. Tetapi kehadiran militer ini lebih sebagai pendukung strategis dibandingkan penggerak utama. Pada akhirnya, kolaborasi ini berhasil menghancurkan ISIS pada 2017, tetapi kemenangan itu justru menjadi awal dari ketegangan baru yang lebih kompleks.


×

ERA PASCA-ISIS: MUNCULNYA ANCAMAN BARU
Setelah ISIS kalah, konflik di Suriah beralih ke tahap baru. Kelompok-kelompok ekstremis yang tersisa tidak musnah, melainkan beradaptasi. Dengan dukungan dari Turki, mereka merevitalisasi kekuatan mereka, memanfaatkan strategi perang hibrida yang memadukan kekerasan terorganisir dan propaganda yang lebih halus.

  1. Transformasi Strategi: Ottomanisme Modern
    Kelompok-kelompok ini meninggalkan taktik brutal yang mencolok dan beralih ke strategi yang lebih diplomatik, tetapi sama mematikannya. Pengaruh Arab Saudi dalam mendukung kelompok-kelompok ini mulai berkurang, sementara Turki mengambil alih peran sebagai aktor utama. Mereka memanfaatkan celah di antara Assad dan sekutunya, menciptakan ketidakpercayaan di level lokal maupun internasional.
  2. Melemahnya SAA: Tentara Tanpa Motivasi
    Tentara Arab Suriah (SAA), yang dulunya menjadi simbol keteguhan perlawanan, kini dilanda demoralisasi. Faktor ekonomi, ideologi, dan kepercayaan publik terhadap Assad yang terus menurun menjadi pemicu utama. Tanpa dukungan penuh dari Iran yang sebelumnya menjadi pilar utama, SAA mulai kehilangan daya juangnya. Beberapa unit bahkan menyerah tanpa perlawanan berarti.
  3. Bashar al-Assad: Dari Pahlawan Perlawanan ke Pemimpin Terkepung
    Krisis ini berpusat pada satu sosok: Bashar al-Assad. Di masa lalu, ia dipandang sebagai simbol keteguhan perlawanan terhadap dominasi Barat. Namun, sekarang, ia terlihat bimbang dan kehilangan arah. Dalam pertemuan terakhirnya dengan Khamenei, ia diberi peringatan jelas:

"Musuh tidak pernah benar-benar menyerah. Mereka hanya mengganti strategi. Jika Anda tidak waspada, mereka akan menghancurkan Anda dari dalam."

Namun, alih-alih bertindak sesuai peringatan, Assad membuat langkah yang fatal. Ia memilih mendekat ke negara-negara Arab Teluk yang dulu menuntut penggulingannya. Terbuai janji rekonsiliasi ekonomi dan diplomasi, Assad menyingkirkan Iran secara perlahan, dengan harapan menciptakan aliansi baru. Tapi janji-janji itu hanyalah fatamorgana.

KEPUTUSAN YANG MEMBUNUH: MENGEJAR JANJI HOLLOW
Alih-alih memperkuat sekutunya yang nyata, Assad menaruh harapan pada janji-janji GCC, yang selama ini justru menghasut pemberontakan di dalam negeri. Ketika ia menyadari kesalahannya, sudah terlambat. Sekarang, Suriah berada di ambang kehancuran total, dengan Iran yang enggan kembali secara penuh.

DI MANA IRAN?
Iran menghadapi dilema. Haruskah mereka kembali menginvestasikan sumber daya yang besar untuk menyelamatkan Assad, yang telah menjauh? Ataukah mereka membiarkan Suriah terjerembab lebih dalam sebagai peringatan bagi pemimpin lain yang berani bermain di dua kaki?

Jawaban dari pertanyaan ini tidak hanya menentukan masa depan Suriah tetapi juga stabilitas kawasan. Satu hal yang pasti: dunia sedang menyaksikan, dan sejarah akan mencatat keputusan Iran. Apakah mereka akan menjadi penyelamat yang diingat atau sekadar penonton tragedi ini? Kita tunggu jawabannya.

TAG: #suriah
Sumber:

BERITA TERKAIT